From Jogja with Film

10:00 AM
Bengkel Teater. Mungkin tidak banyak yang menulis nama ini untuk mengawali tulisan tentang film. Namun, ketika kita bicara tentang perkembangan film di Jogja maka nama ini takkan bisa dihapus atau diacuhkan. Beberapa tokoh film lahir dari Bengkel Teater yang dulu letaknya di Ketanggungan. Diantaranya : Chaerul Umam, Teguh Karya, Putu Wijaya, Moortri Purnomo, Amak Baljun, Azwar AN, dan nama-nama lain yang kala itu berani beralih dari dunia teater/panggung ke dunia film. Mereka lahir dari proses “berdarah-darah”. Sebungkus lotek atau nasi rames dibagi untuk beberapa orang saat latihan adalah hal yang biasa kala itu. Spirit berbagi dan ‘nggetih’ ini akhirnya menjadi habbit yang diturunkan dari generasi ke generasi. Para sesepuh ini melahirkan generasi berikutnya di dunia film, sebut saja Slamet Rahardjo, Eros Djarot, Garin Nugroho, hingga era Hanung Bramantyo, Fajar Nugros, Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono, Yoseph Angginoen, BW Purbanegara, Wregas Bhanuteja dan lainnya.

Kata orang, Jogja adalah kota kreatif. Banyak kreator lahir di kota ini. Baik yang lahir secara fisik maupun ideologis. Kita amini saja hal ini. Karena sudah ratusan artikel membahasnya. Saya pribadi sebagai bagian dari denyut kreatif kota ini merasakan hal yang sama, bahwa Jogja mampu menjadi ruang berkreasi dan bahkan mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang kreatif.
Sebagai sebuah ruang dan atmosfir, Jogja telah banyak digunakan oleh para filmmaker sebagai setting film. Sebut saja Cintaku Di Kampus Biru, Janur Kuning, Daun di Atas Bantal, Sang Pencerah, Siti, puluhan judul FTV, dan masih banyak lagi. Sudut-sudut kota ini menawarkan estetika visual yang menarik hingga para filmmaker “belanja visual” di Jogja.
Jogja tak sekedar menjadi ruang dan inspirasi. Bagi beberapa orang, termasuk saya, Jogja mampu merasuk menjadi roh dan ideologi dalam berkarya. Kepemimpinan dalam produksi kreatif dipengaruhi oleh sikap keseharian. Jangan memimpin dengan amarah, menjaga sikap rendah hati, membumi, saling membantu, adalah sebagian kecil dari ‘ideologi berkreasi’ yang menyertai dalam berproses. Bahkan, di tahun 90an hingga 2000an awal, ketika teknologi video masih analog dan alat produksi masih minim, sikap “iguh” karena kepepet adalah biasa. Belum bisa sewa dolly track karena budget minim? Gampang. Bisa pakai triplek dan roda tripod. Selesai. Tak ada gengsi dalam produksi. Saling membantu antar kru lintas departemen menjadi habbit yang masih kita rasakan hingga saat ini.
Banyak film panjang ataupun pendek yang diproduksi di kota ini. Mulai dari komunitas kampus hingga Production House besar telah memanfaatkan Jogja menjadi ladang dalam berkarya. Ketika Festival Film Indonesia pertama kali membuat kategori film pendek di tahun 2004, film Djedjak Darah yang disutradarai oleh filmmaker Jogja M. Aprisiyanto menjadi film pendek terbaik. Film Djedjak Darah diproduksi dengan kamera video, mampu mengalahkan puluhan film lain yang diantaranya diproduksi menggunakan kamera seluloid. Ini menjadi salah satu bukti bahwa sumber daya manusia penting dalam sebuah produksi film, bukan toolsnya saja.
Prestasi filmmaker dalam festival film terus berlanjut, hingga beberapa waktu yang lalu lahirlah film Siti besutan sutradara Eddie Cahyono yang berprestasi di beberapa festival nasional maupun internasional. Film Siti yang berbudget seratusan juta mampu bersaing dengan film panjang lain yang berbudget puluhan milyar. Film Prenjak dari Jogja juga menorehkan prestasi di Festival Film Cannes Perancis. Menurut sutradaranya, Wregas Bhanuteja, film Prenjak diproduksi menggunakan kamera DSLR pinjaman, dengan minim lighting.
Dari data di atas, maka semakin yakinlah saya bahwa manusia berperan penting dalam dunia kreatif. Proses kedewasaan dalm berkreasi tak lepas dari environmentnya. Interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari bisa menjadi roh untuk ide maupun saat eksekusinya. Hal inilah yang harus disadari oleh pemangku kepentingan bahwa dunia kreatif tak akan lepas dari hiruk pikuk kota yang ditinggali oleh pelaku seni.
Bagaimana dengan Jogja? Apakah atmosfir kotanya masih mendukung senimannya dalam berkreasi? Ini sebuah pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan modal hati terbuka. Para filmmaker Jogja yang berprestasi di tahun-tahun ini rata-rata lahir dan besar di era tahun 90an dan 2000an awal. Ketika Jogja masih kondusif sebagai sumber ide atau berkreasi. Bagaimana dengan calon filmmaker yang lahir dan besar di tahun 2010an hingga sekarang? Akankah atmosfir Jogja mampu mendukung mereka ini untuka berkreasi dan berprestasi?
Semua berpulang pada msyarakat Jogja dan pemerintahnya. Iklim kreatif ini makin surut atau berjaya adalah sebuah pilihan. Kecuali jika memang filmmakernya punya posisi tawar dan struggle yang kuat untuk melawan kondisi kota ini yang makin tak kondusif.
Bagi saya pribadi, film itu bukan hanya menggelar lakon, namun juga menjadi ‘laku’ (prihatin) bagi pembuatnya. Kenapa begitu? Laku prihatin ini akan meningkatkan posisi tawar ideologi kita dalam melawan suasana yang tak kondusif. Penyikapan serius terhadap produksi film, SOP yang baik, syuting yang manusiawi, adalah sebagian kecil dari laku prihatinnya. Karena kita pasti akan mengalami hal yang tidak mengenakkan ketika tidak dibebaskan dalam berperilaku. Mau marah saat syuting kok nggak boleh? Nggak enak banget kan? (bagi sebagian orang). Namun ketidak enakan itu adalah bagian dari proses merecharge energi kreatif agar bisa full power.
Apakah 20 tahun lagi Jogja masih mampu melahirkan filmmaker kreatif dan berprestasi? Ini adalah sebuah pertanyaan besar. Mari, kita mewariskan hal-hal positif kota ini kepada generasi mendatang.

Ditulis oleh: Triyanto 'Genthong' Hapsoro
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Mata Jendela
terbitan Taman Budaya Yogyakarta

1 comment:

Powered by Blogger.